BADAN KESATUAN BANGSA DAN POLITIK

Kategori informasi

Sejarah Singkat Hari Kebangkitan Nasional

Tanggal 20 Mei tiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional, yang dimaknai sebagai titik awal di mana bangsa Indonesia bangkit dan memiliki jiwa nasionalisme, dan rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi. Hari Kebangkitan Nasional juga merupakan momentum yang menimbulkan kesadaran bagi para pemuda untuk memperjuangkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang merdeka. Namun, apa yang melatarbelakanginya? Politik Etis Untuk mengetahui latar belakang dari Hari Kebangkitan Nasional, kita harus melihat kembali situasi politik sosial di Hindia Belanda pada saat itu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai menerapkan ‘Politik Etis’ sejak 17 September 1901. Penerapan Politik Etis ini mengawali era Pergerakan Nasional di Indonesia. Penerapan Politik Etis ini merupakan akibat dari kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Johannes van den Bosch, untuk mengisi kembali kas Belanda yang kosong akibat dari Perang Diponegoro (1825-1830) dan Revolusi Belgia (1830). Kebijakan tanam paksa ini merupakan kebijakan yang memaksa petani Hindia Belanda saat itu untuk menanam tanaman yang menjadi komoditi ekspor menguntungkan di pasar internasional, seperti teh, tembakau, kopi, dan tebu. Petani diwajibkan untuk menggunakan seperlima tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman tersebut. Apabila petani tidak memiliki tanah, maka petani tersebut diwajibkan untuk bekerja di perkebunan pemerintah selama 66 hari. Pada penerapannya, kebijakan tersebut mengalami penyimpangan, seperti pemanfaatan tanah yang melebihi dari aturan, gagal panen yang menjadi tanggung jawab petani, maupun bekerja lebih dari 66 hari bagi petani yang tidak memiliki sawah. Hal ini tentu merugikan rakyat Hindia Belanda, terlebih Belanda sendiri berhasil mengisi kembali kas negara yang kosong. Kondisi rakyat Hindia Belanda tersebut banyak disentil oleh kaum liberal. Eduard Douwes Dekker mengkritik pemerintah kolonial melalui novelnya, Max Havelaar (1860), yang menggambarkan kesengsaraan rakyat pada saat itu (Nadia, 2022). Douwes Dekker menuntut kepada pemerintah Belanda agar lebih memerhatikan kehidupan rakyat jajahannya karena kejayaan negeri Belanda merupakan hasil keringat rakyat Hindia Belanda. Butuh waktu lama untuk meyakinkan Belanda untuk mengubah kebijakannya. Barulah pada 1901, atas desakan Perdana Menteri Belanda, Abraham Kuypers, dan kabinetnya yang beraliran liberal, Ratu Wilhelmina kemudian menerapkan kebijakan Politik Etis sebagai upaya balas budi pemerintah Belanda kepada rakyat Hindia Belanda. Politik Etis memiliki tiga program utama, yakni: (1) irigasi; (2) edukasi; dan (3) transmigrasi. Dari ketiga program tersebut, edukasi menjadi program yang memiliki dampak terbesar bagi perjalanan bangsa ini. Berdirinya Budi Utomo Penerapan politik etis ini memunculkan kaum bumiputra terpelajar yang nantinya akan menumbuhkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Pada era ini, banyak bermunculan organisasi-organisasi pergerakan, baik yang bersifat kooperatif maupun radikal. Salah satu organisasi pergerakan awal yang berdiri adalah Budi Utomo (BU), yang mana tanggal berdirinya kini ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. BU lahir dari gagasan Dr. Wahidin Soedirohoesodo yang menginginkan agar dibentuk suatu perkumpulan yang membantu membiayai pendidikan pemuda bumiputra yang pandai namun tidak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan. Pada 1907, Dr. Wahidin Soedirohoesodo berkeliling Jawa untuk mewujudkan gagasannya tersebut. Dalam perjalanannya, Dr. Wahidin singgah di STOVIA dan gagasannya mendapat tanggapan positif dari para siswa. Gagasan Dr. Wahidin acap kali dijadikan bahan diskusi para siswa STOVIA, khususnya mengenai pendidikan bagi kaum bumiputra. Diskusi yang semakin intens menjadi para siswa STOVIA tersebut mengadakan pertemuan untuk mendirikan suatu perkumpulan. Dalam pertemuan yang berlangsung pada 20 Mei 1908, Soetomo mengemukakan gagasan dan cita-citanya terkait pendirian perkumpulan yang bergerak di bidang sosial, transpirasi dari gagasan Dr. Wahidin sebelumya. Hasil dari pertemuan tersebut adalah berdirinya BU dan Soetomo menjadi ketuanya. Berita pendirian BU menyebar hingga ke seluruh pulau Jawa. Antusiasme para pemuda yang tinggi menjadikan perlu untuk menyegerakan kongres. Kongres BU pertama diselenggarakan di Yogyakarta pada 4 dan 5 Oktober 1908 dan dihadiri oleh pemuda dari berbagai daerah, pejabat keraton, para pejabat Belanda, dan para bupati Temanggung, Blora, dan Magelang (Marihandono, 2013). Dalam kongres tersebut, ditetapkan bahwa tujuan BU adalah "Kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu)" (Pringgodigdo, 1986: 1 dalam Dienaputra, 2013). Berdasarkan tujuan tersebut, dapat dilihat bahwa BU tidak mengambil jalur radikal untuk memperjuangkan kepentingan bangsa. Kepengurusan BU cenderung enggan untuk mengambil jalur politik sebagai sarana perjuangan. Sebuah kebijakan yang menjadikan BU tidak dilarang oleh pemerintah kolonial. Di sisi lain, hal ini memunculkan ketidakpuasan di kalangan sebagian anggota sehingga banyak yang memilih keluar BU untuk membentuk atau bergabung dengan organisasi yang lebih radikal. Penetapan dan Makna Hari Kebangkitan Nasional Pada tahun 1948, Indonesia yang baru merdeka dihadapkan dengan berbagai krisis. Belanda masih menganggap Indonesia sebagai wilayahnya dan enggan mengakui kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, muncul kelompok oposisi pemerintah yang dipimpin oleh mantan perdana menteri Indonesia, Amir Sjarifuddin, yang didukung oleh kelompok kiri. Soekarno merasa bahwa Indonesia akan dilanda perpecahan antargolongan dan ideologi. Karena itu, diperlukan adanya simbol yang dapat mempersatukan rakyat dan mencegah perpecahan. Berdasarkan usulan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), berdirinya BU ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional oleh Presiden Soekarno pada tanggal 20 Mei 1948 di Istana Kepresidenan di Yogyakarta, bersamaan dengan peringatan 40 tahun berdirinya BU. Posisi ini kemudian diperkuat oleh Presiden Soeharto melalui Keppres No 1 Tahun 1985 tentang Penyelenggaraan Peringatan Hari Kebangkitan Nasional (Anon, 2019). Penetapan tanggal berdirinya BU bukannya tidak mendapat kritikan. BU dinilai sebagai organisasi yang kooperatif dengan pemerintah kolonial dan tidak terjun berpolitik. Selain itu, BU juga dinilai terlalu Jawasentris karena lingkup keanggotaannya yang kurang inklusif. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa BU merupakan organisasi pergerakan yang memelopori dan memengaruhi organisasi-organisasi pergerakan lainnya. Seperti Indische Partij yang didirikan oleh mantan anggota BU, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat, bersama dengan Ernest Douwes Dekker. Terdapat pula Sarekat Islam, yang mana terdapat pengaruh dari Tirto Adhi Soerjo. Dari sejarah, kita dapat belajar bahwa peringatan Hari Kebangkitan Nasional merupakan momentum untuk bangkit dan bersatu dalam membangun bangsa. Semangat kebangkitan mengajarkan untuk selalu melihat ke depan serta menghadapi tantangan dan persoalan terhadap keutuhan dan ketangguhan bangsa. Referensi: Anon, 2019. Dialektika Sejarah Budi Utomo. Tersedia di: https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/dialektika-sejarah-budi-utomo (Diakses 18 Mei 2023). Dienaputra, R.D., 2013. Budi Utomo: Dulu, Kini, dan Esok. Dalam: Isnudi, ed. Makna Organisasi Boedi Oetomo untuk Hari Ini dan Esok (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tahun 2013). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional. Marihandono, D., 2013. Boedi Oetomo: Masih Relevankah untuk Masa Kini? Dalam: Isnudi, ed. Makna Organisasi Boedi Oetomo untuk Hari Ini dan Esok (Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tahun 2013). Jakarta: Museum Kebangkitan Nasional. Nadia, Y., 2022. Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, dan Penyimpangannya. Kompas. Tersedia di: https://www.kompas.com/skola/read/2022/07/08/133000969/sistem-tanam-paksa-latar-belakang-aturan-dan-penyimpangannya?page=all#:~:text=Sistem%20tanam%20paksa%20adalah%20sistem,lain%20di%20luar%20Pulau%20Jawa. (Diakses 18 Mei 2023).p { line-height: 115%; text-align: left; orphans: 2; widows: 2; margin-bottom: 0.25cm; direction: ltr; background: transparent }a:link { color: #0563c1; text-decoration: underline }

Selengkapnya
Pengenalan Organisasi Kemasyarakatan

Organisasi kemasyarakatan atau bisa disebut dengan ormas merupakan organisasi yang didirikan oleh masyarakat untuk berperan aktif dalam mendorong perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa. Adanya keberadaan organisasi kemasyarakatan muncul seiring dengan timbulnya organisasi masyarakat sipil (civil society).Dasar hukum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Definisi dari organisasi kemasyarakatan (Ormas) disebutkan dalam Pasal 1 ayat 1 UU Ormas: Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Ormas sebagaimana telah diubah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa ormas bertujuan untuk:meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat;memberikan pelayanan kepada masyarakat;menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME;melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat;mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat;menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/ataumewujudkan tujuan negara.Berdasarkan pada Pasal 6 Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijelaskan bahwa ormas bertujuan untuk:penyalur kegiatan sesuai dengan kepentingan anggota dan/atau tujuan organisasi;pembinaan dan pengembangan anggota untuk mewujudkan tujuan organisasi;penyalur aspirasi masyarakat;pemberdayaan masyarakat;pemenuhan pelayanan sosial;partisipasi masyarakat untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa; dan/ataupemelihara dan pelestari norma, nilai, dan etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Organisasi Kemasyarakatan (ormas) di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis yaitu:Organisasi Kemasyarakatan AgamaOrganisasi Kemasyarakatan Adat dan BudayaOrganisasi Kemasyarakatan NasionalAkar sejarah organisasi masyarakat di Indonesia, bisa dirunut semenjak terjadinya perubahan sosial ekonomi pada masa kolonial, terutama ketika kapitalisme merkantilis mulai diperkenalkan oleh Belanda. Hal tersebut mendorong terjadinya pembentukan sosial melalui proses industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan modern. Oleh karena itu, timbul kesadaran kalangan kaum elit pribumi yang kemudian mendorong terbentuknya organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke­20. Kejadian ini menandai mulai bersemainya organisasi masyarakat atau civil society di Indonesia.Pasca kemerdekaan (tahun 1950-an), pertumbuhan civil society di Indonesia mengalami kemajuan. Pada saat itu, organisasi-organisasi sosial dan politik dibiarkan tumbuh bebas dan memperoleh dukungan kuat dari warga masyarakat yang baru saja merdeka. Selain itu, Indonesia yang baru lahir belum memiliki kecenderungan intervensionis, sebab kelompok elit penguasa berusaha keras untuk mempraktikkan sistem demokrasi parlementer. Namun setelah itu, civil society tersebut segera mengalami penyurutan terus menerus. Bahkan akibat dari krisis-krisis politik pada level negara ditambah dengan kebangkrutan ekonomi dalam skala masif, distorsi­distorsi dalam masyarakat pun meruyak. Akibatnya hal ini menghalangi kelanjutan perkembangan civil society. Kondisi civil society demikian mencapai titik yang paling parah di bawah rezim Sukarno di mana dominasi penggunaan mobilisasi massa sebagai alat legitimasi politik dan menguatnya kecenderungan ideologisasi politik  yang mempertajam polarisasi politik sehingga kohesi sosial menjadi rapuh. Pada mas Orde Baru, terjadilah perubahan-perubahan civil society di Indonesia, akselerasi pembangunan lewat industrialisasi telah berhasil menciptakan pertumbuhan ekonomi dan struktur sosial masyarakat Indonesia yang ditandai dengan tergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris. Pada wilayah politik, Orde Baru melanjutkan upaya sebelumnya untuk memperkuat posisi negara di segala bidang. Ini berakibat pada merosotnya kemandirian dan partisipasi politik masyarakat. Penetrasi negara yang kuat dan jauh, terutama lewat jaringan birokrasi dan aparat keamanan, telah mengakibatkan semakin menyempitnya ruang-ruang bebas yang dulu pernah ada.Era modern ini, Organisasi Kemasyarakatan (ormas) telah mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat sehingga peraturan-peraturan pun dibuat untuk mengatur dan mengawal gerak ormas, aturan yang makin ketat dan spesifik diharapkan dapat mengawal kegiatan dan program ormas berjalan sesuai aturan. Dengan begitu, esensi ormas dapat tercapai yakni untuk mendorong dan membantu percepatan pembangunan bangsa dan negara.Hampir di seluruh wilayah Indonesia, ormas sangat berkembang dan bertumbuh secara kuantitas maupun kualitas. Termasuk di wilayah Kabupaten Lamongan per bulan Mei 2023 yang tercatat di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik sejumlah 101 ormas yang aktif dan memiliki SK Kemenkumham. Sementara itu untuk sifat kegiatan, ormas tentunya harus dibedakan dengan organisasi lainnya yang tujuannya memang memperoleh keuntungan, seperti CV, PT, dan sebagainya. Dalam melaksanakan kegiatannya ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba dan demokratis.

Selengkapnya
Senarai Produk Hukum Bakesbangpol Kabupaten Lamongan

Senarai Produk Hukum pada Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lamongan adalah sebagai berikut: NO PRODUK HUKUM   SEKRETARIAT   1. Bagian Umum -          SK Pengurus Barang Pengguna ; Pengurus Barang Pembantu -          SK Pengurus Barang Pengelola -          SK Pengguna Barang ; Kuasa Pengguna Barang -          SK Pejabat Penatausahaan Pengguna Barang -          SK Pejabat Penatausahaan Barang Pengelola   BIDANG IDEOLOGI, WASBANG, DAN KETAHANAN EKONOMI, SOSIAL, BUDAYA DAN AGAMA 1. SK Forum Kerukunan Umat Beragama 2. SK Forum Pembauran Kebangsaan 3. SK Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan 4. SK Gerakan Nasional Revolusi Mental 5. SK Tim Terpadu P4GN 6. SK Tim Pembinaan dan Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME   BIDANG POLITIK DALAM NEGERI DAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN   1. SK Tim Verifikasi Kelengkapan Administrasi Pengajuan Bantuan Partai Politik   BIDANG KEWASPADAAN NASIONAL DAN PENANGANAN KONFLIK   1. SK Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Kabupaten Lamongan 2. SK Timpora Kabupaten Lamongan 3. SK Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Kabupaten Lamongan 4. SK Forum Kewaspadaan Dini Daerah (FKDM) Kabupaten Lamongan

Selengkapnya
Pengertian dan Fungsi Partai Politik

Dalam kehidupan sehari – hari kita sering mendengar istilah politik, akan tetapi apakah kita mengerti apa definisi dari politik itu sendiri? Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang artinya negara. Dalam arti luas, politik adalah suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, dan di gunakan untuk masyarakat untuk menegakkan peraturan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Menurut Aristoteles, politik merupakan ”master of science”, maksudnya bukan dalam arti ilmu pengetahuan melainkan ia menganggap pengetahuan tentang politik merupakan kunci untuk memahami lingkungan. Politik tidak bisa dipisahkan oleh dua aspek yaitu konflik dan kerja sama. Dalam sebuah peraturan, bisa saja ada pihak yang tidak dapat menerima peraturan yang telah di tetapkan. Mungkin mereka memiliki perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan dan ketidakcocokan tentang aturan itu sendiri. Hal seperti itu bisa menimbulkan sebuah konflik. Di sisi lain, dalam  membuat atau menjalani sebuah aturan, seseorang membutuhkan orang lain agar mendapat tujuan yang mereka inginkan. Oleh sebab itu, muncullah keinginan untuk bekerja sama sehingga konflik dan kerja sama tersebut merupakan hal yang tidak terlepas dari politik. Tetapi bagaimanapun juga, politik seharusnya digunakan untuk menyelesaikan sebuah masalah daripada untuk mencapai suatu tujuan dari suatu golongan tertentu. Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat dunia, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati kehendak rakyat. Oleh karena itu, pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi kekuasaan. Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian peserta pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, pemilu yang diselenggarakan secara berkala, dalam artian pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan jarak waktu yang jelas. Ketiga, pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam pemilu. Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam proses pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas. Kelima, penyelenggara pemilu yang tidak memihak dan independen. Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan seleksi kepemimpinan nasional dan daerah melalui pemilu membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi. Penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dinilai cukup berhasil oleh banyak kalangan, termasuk kalangan internasional. Dengan gambaran ini dapat dikatakan bahwa sistem perpolitikan nasional dipandang mulai sejalan dengan penataan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya mencakup penataan partai politik. Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi sistem perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang dinamis dan sedang berubah. Jika kapasitas dan kinerja partai politik dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh karena itu, peran partai politik perlu ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi. Sesuai Surat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, mengenai penyampaian data partai politik yang telah berbadan hukum, ada 75 partai politik yang telah berbadan hukum, sedangkan untuk Kabupaten Lamongan ada 23 partai politik yang telah melaporkan keberadaanya ke Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Lamongan. Dari 75 partai politik hanya 24 partai yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu tahun 2024.

Selengkapnya
Pemberontakan PETA di Blitar

Kemerdekaan Indonesia dapat tercapai atas perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah. Salah satu di antaranya terjadi pada 14 Februari 1945. Pada saat itu, tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang dipimpin oleh Shodancho Soeprijadi melakukan pemberontakan terhadap Jepang di Blitar.Sejarah Terbentuknya Pembela Tanah Air (PETA)Jepang mulai masuk ke wilayah Indonesia melalui Tarakan pada 11 Januari 1942. Perlahan, wilayah-wilayah lain yang dikuasai Belanda jatuh ke tangan Jepang. Puncaknya, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang melalui Perjanjian Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Melalui perjanjian tersebut, Belanda resmi menyerahkan Hindia Belanda kepada Jepang tanpa syarat.  Keberhasilan Jepang mengalahkan Belanda disambut meriah. Memanfaatkan kesan yang baik di mata rakyat, Jepang kemudian mengeluarkan banyak propaganda yang intinya mendudukkan Jepang sebagai saudara tua yang membebaskan saudara muda dari kolonialisme Barat. Untuk lebih menarik minat bangsa Indonesia, Jepang mengizinkan pengibaran bendera Merah Putih bersanding dengan bendera Hinomaru.Namun, rentetan kekalahan Jepang di Pasifik menjadikan urgensi untuk melibatkan rakyat di wilayah jajahan menjadi semakin besar. Karena itu, Jepang membentuk berbagai organisasi militer di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mendukung militer Jepang dalam usahanya berperang melawan Sekutu.Pada Sidang Parlemen Jepang ke-82 tanggal 16 Juni 1943, Perdana Menteri Jepang, Tojo Hideki, menyampaikan akan melibatkan penduduk lokal dalam urusan pemerintahan dalam negeri di Jawa (Lebra, 2010). Untuk itu, Jepang berencana untuk mendirikan satuan militer yang beranggotakan penduduk lokal.Untuk menarik minat masyarakat, Dinas Intelijen Angkatan Darat Jepang (Beppan) memutuskan agar permohonan untuk membentuk satuan militer tersebut dilakukan oleh orang lokal sendiri. Pada akhirnya, Gatot Mangkupradja, seorang nasionalis dan juga salah satu pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), mengirim surat kepada Gunseikan pada 7 September 1943 untuk memohon agar bangsa Indonesia diizinkan untuk membantu usaha militer Jepang.Dukungan terhadap pembentukan organisasi militer mengalir dari banyak tokoh nasional. Karena itu, melalui Osamu Seirei No. 44 yang diumumkan oleh Panglima Angkatan Darat ke-16 Jepang, Letjen Harada Kumakichi, PETA resmi terbentuk pada 3 Oktober 1943.Pemberontakan PETA di BlitarPembentukan PETA memiliki pengaruh besar dalam peperangan dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia ke depannya. Melalui PETA, rakyat Indonesia memiliki kesempatan menimba ilmu kemiliteran dan berperang yang baik. Meski demikian, banyak di antara mereka yang tergabung dalam PETA memiliki permasalahan tersendiri dengan tentara Jepang, salah satunya adalah Soeprijadi.Soeprijadi adalah seorang shodancho (komandan peleton) PETA yang bertugas di Blitar. Soeprijadi merasa prihatin dan resah terhadap nasib rakyat Indonesia di bawah pendudukan Jepang. Banyak dari rakyat yang menjadi romusha meninggal karena kelelahan, kelaparan, dan penyakit. Menurut Nugroho Notosusanto (dalam Sato, 2015), pengalaman peleton Soeprijadi dengan para romusha merupakan faktor utama yang mengubah pandangan mereka terhadap Jepang. Faktor lain juga disebabkan oleh adanya diskriminasi terhadap prajurit pribumi yang diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang meski berpangkat lebih rendah. Namun, tekad bulat Soeprijadi untuk melakukan pemberontakan terhadap Jepang datang setelah ayahnya, R. Darmadi, pulang dengan kondisi menyedihkan setelah mengikuti kursus adminstrasi bagi para pangreh praja di Jakarta (Sato, 2015).Perlawanan terhadap Jepang dilakukan pada tanggal 14 Februari 1945 di Blitar. Tanggal tersebut dipilih karena terdapat pertemuan antara anggota dan komandan PETA di Blitar, sehingga harapannya terdapat anggota-anggota lain yang tertarik bergabung dalam perlawanan.Pada pukul 03.00, pasukan PETA melancarkan serangan dengan menembakkan mortir ke Hotel Sakura, yang menjadi kediaman para perwira militer Jepang. Markas Kempeitai juga ditembaki senapan mesin. Pasukan PETA juga membawa banyak perlengkapan dan logistik, termasuk persenjataan.Jepang bertindak cepat dalam mengatasi pemberontakan tersebut yang membuat Soeprijadi gagal menggerakkan kesatuan lain untuk bergabung ke dalam pemberontakan. Selain itu, Jepang juga mengetahui rencana pemberontakan, yang mana terlihat dari gedung-gedung yang kosong. Jepang juga mengerahkan prajurit lokal untuk menghentikan pemberontakan. Mengingat Soeprijadi memerintahkan untuk hanya membunuh prajurit Jepang, langkah Jepang tersebut berhasil menghambat pergerakan Soeprijadi dan pengikutnya.Beberapa prajurit PETA yang terlibat pemberontakan ditangkap dan diadili di Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Dari 68 orang yang diadili, ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati.  Beberapa yang dipidana mati adalah dr. Ismail, Muradi, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo (Nailufar, 2020). Dari yang terhukum tersebut, tidak ada nama Soeprijadi.Nasib Soeprijadi sendiri tidak jelas nasibnya apakah masih hidup setelah peristiwa tersebut atau  telah tewas, baik dalam pertempuran atau hukuman mati oleh Jepang. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno mengumumkan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun, Soeprijadi tidak muncul sehingga digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo. Dampak Pemberontakan PETAPemberontakan PETA di Blitar menunjukkan adanya perubahan pandangan Indonesia terhadap Jepang. Menurut Benedict Anderson (2009), pemberontakan tersebut menciptakan suasana kecemasan di kalangan tentara Jepang di Jawa. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kecaman langsung dari militer Jepang dan keringanan hukuman terhadap para prajurit PETA yang terlibat dalam pemberontakan.Pemberontakan ini juga meningkatkan keinginan untuk merdeka di kalangan prajurit PETA di daerah lain. Di Rengasdengklok misalnya, daidan Rengasdengklok yang mendengar kabar di Blitar mendorong beberapa prajuritnya untuk menculik Sukarno-Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945, yang berujung pada diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 (Lebra, 2010). Referensi:Anderson, B.R.O.G., 2009. Some Aspects of Indonesian Politics under the Japanese Occupation, 1944-1945. Jakarta: Equinox Publishing.Lebra, J.C., 2010. Japanese-Trained Armies in Southeast Asia. Singapura: ISEAS Publishing.Nailufar, N.N., 2020. Pemberontakan PETA di Blitar. Kompas. Tersedia di: https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/16/190000769/pemberontakan-peta-di-blitar (Diakses 13 Februari 2023).Sato, S., 2015. War, Nationalism and Peasants: Java under the Japanese Occupation 1942-1945. New York: Routledge.

Selengkapnya
GANEFO: Olimpiade Tandingan Indonesia

Tanggal 10 November di Indonesia umumnya diperingati sebagai Hari Pahlawan. Namun, tanggal ini juga merupakan peringatan Hari GANEFO. Games of the New Emerging Forces (GANEFO) merupakan salah satu peristiwa di mana Indonesia berani menentang hegemoni Barat melalui olahraga. Konsepsi Politik Luar Negeri Sukarno Membahas GANEFO tidak bisa dilepaskan dari sejarah yang melatarbelakanginya. Situasi dunia pada dekade 1960an diramaikan dengan negara-negara Barat melakukan dekolonisasi terhadap wilayah jajahannya. Akibatnya, banyak negara-negara di Asia dan Afrika memperoleh kemerdekaannya. Sayangnya, keadaan internasional pada masa itu masih berada dalam Perang Dingin antara Blok Barat dengan Blok Timur. Negara-negara yang baru merdeka tadi berada dalam kontestasi perebutan pengaruh antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, dengan masing-masing memberikan bantuan luar negeri agar negara yang baru merdeka tersebut tidak jatuh dalam pengaruh rivalnya. Indonesia, sebagai negara yang menjalankan politik bebas aktif, turut terlibat dalam pusaran ini. Sukarno, yang anti terhadap neokolonialisme dan imperialisme, membawa Indonesia mendekat ke Blok Timur. Melalui pidatonya yang disampaikan di Konferensi Negara-Negara Non-Blok bulan September 1961 di Beograd, Sukarno membagi dua kekuatan dunia, yaitu OLDEFO dan NEFO. OLDEFO (Old Established Forces) merujuk kepada negara-negara yang sudah mapan, yang umumnya kapitalis dan pernah terlibat dalam praktik kolonialisme dan imperialisme. NEFO (New Emerging Forces) di sisi lain adalah negara-negara yang baru merdeka, non-imperialis, dan sosialis. Sukarno percaya bahwa OLDEFO adalah ancaman bagi keamanan dunia, karena negara-negara OLDEFO ingin menguasai negara-negara NEFO melalui rezim-rezim internasional yang berlaku saat itu. Karena itu, Sukarno memiliki gagasan agar negara-negara NEFO bisa saling bekerja sama dan bersatu, salah satunya dengan menggunakan olahraga (Mustikawati, 2020). Latar Belakang Penyelenggaraan GANEFO Olahraga idealnya harus netral dari politik. Namun pada kenyataannya, olahraga sering kali digunakan sebagai alat politik. Sukarno memanfaatkan hal ini karena menurutnya, olahraga dan politik adalah tak terpisahkan. Olahraga dalam hal ini menjadi perlawanan terhadap Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang melarang keikutsertaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Vietnam Utara dalam Olimpiade. Bahkan, Sukarno terang-terangan menyebut IOC sebagai antek kolonialisme dan imperialisme (Pauker, 1965). Sebagai balasan, Sukarno tidak mengundang Republik Tiongkok (Taiwan) dan Israel dalam gelaran Asian Games 1962 di Jakarta. Hal ini dikarenakan dengan mengundang dua negara tersebut akan berdampak pada hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah dan RRT, yang memiliki pandangan sama dengan Indonesia dalam menolak imperialisme Barat. Tindakan Sukarno yang tidak mengundang Taiwan dan Israel membuat murka Avery Brundage, Ketua IOC. Brundage mengancam akan menskorsing Indonesia dari Olimpiade yang akan datang. Ancaman tersebut tidak membuat Sukarno tunduk, tetapi malah meyakinkan Sukarno untuk membawa Indonesia keluar dari keanggotaan IOC. Untuk menjaga eksistensi Indonesia, Sukarno juga memerintahkan agar diselenggarakan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) secepatnya. Menteri Olahraga waktu itu, Maladi, ditunjuk sebagai ketua panitia pelaksanaan GANEFO. Sebelas negara diundang untuk menghadiri Konferensi Persiapan GANEFO yang diadakan di Jakarta pada 27-29 April 1962. Sebelas negara tersebut adalah: Kamboja, RRT, Guinea, Irak, Pakistan, Mali, Vietnam Utara, Republik Arab Bersatu, Uni Soviet, Ceylon, dan Yugoslavia. Dalam konferensi tersebut disepakati bahwa: (1) GANEFO didasarkan atas semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung dan Olimpiade; (2) GANEFO akan diselenggarakan di Jakarta pada pertengahan November 1963, dan; (3) GANEFO akan diselenggarakan tiap empat tahun sekali (Mustikawati, 2020). Sukarno membuat gestur jelas bahwa pelaksanaan GANEFO bertujuan sangat politis dan diarahkan kepada IOC yang dianggap antek Barat. IOC dan beberapa federasi olahraga internasional juga mengancam akan mengeluarkan keanggotaan negara yang terlibat dalam GANEFO. Meski demikian, ancaman tersebut tidak menyurutkan negara-negara untuk ikut serta dalam GANEFO. Pelaksanaan GANEFO GANEFO dilaksanakan pada tanggal 10 hingga 22 November 1963 yang diikuti oleh 51 negara peserta dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika Latin. Prosesi pembukaan dilakukan oleh Sukarno di depan 100.000 penonton yang memadati Stadion Utama Gelora Bung Karno. 51 negara peserta GANEFO adalah: Afghanistan, Albania, Aljazair, Argentina, Belgia, Bolivia, Brasil, Bulgaria, Burma, Kamboja, Cile, Ceylon, Kuba, Cekoslowakia, Korea Utara, Republik Dominika, Finlandia, Prancis, Jerman Timur, Guinea, Hungaria, Indonesia, Irak, Italia, Jepang, Laos, Lebanon, Meksiko, Mongolia, Maroko, Belanda, Nigeria, Pakistan, Palestina, RRT, Filipina, Polandia, Mali, Rumania, Arab Saudi, Senegal, Somalia, Suriah, Thailand, Tunisia, Uni Soviet, Vietnam Utara, Republik Arab Bersatu, Uruguay, Yugoslavia Untuk perolehan medali, Indonesia menempati posisi empat di bawah RRT, Uni Soviet, dan Republik Arab Bersatu, dengan total 81 medali yang terdiri dari 21 emas, 25 perak, dan 35 perunggu (Pauker, 1965). Arti Penting GANEFO bagi Indonesia dan Sukarno Bagi Sukarno, kesuksesan GANEFO turut menyukseskan tujuannya dalam membangun bangsa yang revolusioner melalui olahraga dan diplomasi. Skorsing IOC berhasil diubah menjadi sebuah kebanggaan. Terlebih, ikutnya negara-negara yang termasuk dalam OLDEFO, seperti Prancis, untuk berpartisipasi dalam GANEFO merupakan tamparan telak kepada IOC. Salah satu poin penting penyelenggaraan GANEFO adalah untuk meningkatkan hubungan persahabatan sesama negara peserta. Atlet-atlet Indonesia diundang untuk makan bersama dengan Presiden Sukarno, yang meminta kepada para atlet untuk tidak hanya menunjukkan kemampuan mereka, tetapi juga menjalin pertemanan dengan atlet negara lain. Karena itu, atas desakan negara-negara Timur Tengah dan Jepang, IOC kemudian mencabut skorsing Indonesia sehingga Indonesia bisa berpartisipasi dalam Olimpiade Tokyo 1964. Namun, Indonesia memilih untuk mengundurkan diri setelah permintaan untuk melibatkan atlet yang terlibat GANEFO ditolak oleh IOC. Suksesnya penyelenggaraan GANEFO merupakan bentuk keseriusan Sukarno untuk menjadikan Indonesia sebagai pelopor negara dunia ketiga. Selain itu, kesuksesan GANEFO juga menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara yang belum lama berdiri pun bisa menggebrak kekuatan yang lebih mapan dan kuat. Meski dikritik tidak kompetitif, namun Sukarno tidak ambil pusing karena telah menunjukkan sikap politisnya bahwa Indonesia akan selalu berpegang pada semangat anti-imperialisme dan kolonialisme.   Referensi: Mustikawati, R., 2020. The Games of the New Emerging Forces (GANEFO) 1963: The Olympics of the Left. International Journal of Culture and History, 6(2). Singapura: Macrothink Institute. Pauker, E.T., 1965. GANEFO I: Sports and Politics in Djakarta. Asian Survey, 5(4). Berkeley: University of California Press.Mohon kesediaannya meluangkan waktu untuk mengisi kuesioner berikut agar kualitas konten materi menjadi lebih baik. Terima kasih.

Selengkapnya